SIFAT – SIFAT TERPUJI
A. PEMBELAJARAN
Standar Kompetensi :
Membiasakan perilaku terpuji
Kompetensi Dasar :
1.
Menyebutkan pengertian perilaku husnuzhan.
- Menyebutkan contoh-contoh perilaku husnuzhan terhadap Allah, diri sendiri dan sesama manusia.
3.
Membiasakan perilaku husnuzhan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pengalaman belajar :
- Mendiskusikan sikap husnuzhan baik sesama makhluk maupun maupun kepada Allah.
- Mengidentifikasi perilaku husnuzhan dalam kehidupan sehari-hari.
- Membaca kisah-kisah yang berkaitan dengan perilaku husnuzhan dan menyimpulkan hikmahnya.
Materi :
1.
Pengertian husnuzhan
2.
Contoh-contoh perilaku husnuzhan terhadap Allah, diri
sendiri dan sesama manusia
Alokasi Waktu : 2 x 45
A. Pengertian Husnudzan
Husnuzhan (حُسْنُ الظَّنِّ) berasal dari bahasa Arab yang artinya
berprasangka baik (positive thinking). Berkenaan dengan husnudzan ini
perhatikan hadits qudsi di bawah ini!
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasuulullah saw. bersabda : "Allah
swt. berfirman : "Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu, dan Aku
bersamanya ketika ia mengingatKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam dirinya maka Aku
ingat kepadanya dalam diriKu. Jika ia ingat kepadaKu dalam kelompok orang
banyak maka Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari padanya. Jika
ia mendekat kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia
datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari
kecil''. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).
Lebih dalam lagi, Ibnu Atha'illah dalam kitab Al Hikam mengungkapkan bahwa
siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka lihatlah seberapa
tinggi kedudukan Allah dalam hatinya. Demikian pula, siapa yang ingin
mengetahui seberapa dekat Allah dengan dirinya, maka lihatlah seberapa dekat Allah
dengan hatinya.
Dalam hadis qudsi di atas tersirat sebuah ajakan dari Rasulullah SAW agar
kita berusaha selalu dekat dengan Allah SWT, berbaik sangka (husnudzan) dan
tidak berburuk sangka (su'udzhan) kepada-Nya. Karena Allah SWT
"berbuat" sesuai prasangka hamba-Nya. Bila seorang hamba berprasangka
bahwa Allah itu jauh, maka Allah pun akan "menjauh", sebaliknya bila
ia berprasangka bahwa Allah itu dekat, maka Allah pun akan "mendekat"
kepadanya.
Lewat hadis ini pula Rasulullah SAW pun mengajarkan umatnya untuk selalu
berpikir positif dalam segala hal. Semua kejadian, apa pun itu, berada
sepenuhnya dalam genggaman Allah SWT dan terjadi karena seizin-Nya. Dengan
berpikir positif, seseorang akan mampu menyikapi setiap kejadian dengan cara
terbaik. Selain itu, ia pun akan mampu menghadapi hidup dengan optimis. Betapa
tidak, ia dekat dengan Allah Dzat Penguasa yang ada. Karena itu, Rasulullah SAW
mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi, diberi nikmat dia
bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya, diberi ujian dia bersabar, dan
sabar adalah kebaikan bagi dirinya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah tidak pernah membuat jarak
dengan manusia. Manusia sendiri yang membuat jarak dengan Allah. Demikian pula,
Allah tidak pernah menghambat manusia untuk sukses, tapi manusia sendiri yang
menghalangi diirnya untuk sukses. Kunci dari semua itu adalah pikirannya.
Manusia adalah bentukan pikirannya. Tak heran bila Norman Vincent Peale
mengatakan, "You are what you think!"; Anda adalah apa yang Anda pikiran.
Sebuah penelitian yang dilakukan Harvard University membuktikan bahwa
kesuksesan seseorang 85 persen ditentukan oleh sikap, dan 15 persen sisanya
ditentukan oleh keterampilan dan intelektualitas. Sikap itu sendiri dibentuk
oleh pikiran. Dengan kata lain, 85 persen kesuksesan dan kegagalan ditentukan
oleh kualitas pikiran. Dalam konteks bahasan ini, kesuksesan untuk dekat dengan
Allah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana seseorang berpikir positif tentang
Allah. Wallahu a'lam.
- Contoh-Contoh Perilaku Husnudzan
B.1 Husnudzan Kepada Allah SWT
Husnudzan kepada Allah SWT artinya berbaik sangka kepada Allah Yang
memiliki segala kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan. Dengan
demikian, kita menyakini segala perbuatan dan ciptaan Allah tiada yang sia-sia.
Segalanya pasti ada hikmahnya.
Manifestasi perilaku husnudzan manusia kepada Allah SWT adalah syukur dan
sabar. Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa orang beriman itu tidak pernah rugi.
Jika ia diberi nikmat, maka dia bersyukur. Syukur adalah kebaikan bagi dirinya.
Dan jika ia diberi ujian dia bersabar. Sabar adalah kebaikan bagi dirinya.
1. Syukur
Dalam QS Al-Baqarah [2] :152, Allah SWT berfirman, ''Maka ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku.'' Ayat ini secara jelas dan gamblang
memerintahkan kepada kita untuk selalu mengingat Allah dan bersyukur atas
segala nikmat-Nya.
Secara bahasa, syukur berarti berterima kasih kepada Allah. Sedangkan
Ar-Raghib Al-Isfahani, salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Alquran,
dalam Al Mufradat fi Gharib Al Quran, mengatakan bahwa kata 'syukur'
mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke
permukaan.
Kesyukuran, pada hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang
manusia, yang notabene sebagai makhluk, kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah
menciptakan dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa
dan tidak bersyukur atas karunia-Nya.
Ketidakbersyukuran manusia, biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
salah melakukan ukuran/menilai. Dalam konteks ini maksudnya bahwa manusia
selalu mengukur suatu nikmat dari Allah itu dengan ukuran keinginannya.
Artinya, jika keinginannya dipenuhi, maka ia akan mudah untuk bersyukur.
Sebaliknya, jika belum dikabulkan, maka ia akan enggan untuk bersyukur.
Penilaian seperti ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat
yang diberikan. Penilaian yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh.
Karena, apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah. Dan,
belum tentu juga itu yang terbaik buat diri kita. Perhatikan firman Allah, ''Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.'' (QS. Al Baqarah [2] : 216).
Kedua, selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat.
Perilaku ini hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain.
Sedangkan perilaku bagi orang beriman haruslah melihat kepada orang yang kurang
beruntung. Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim,
mengajarkan, ''Apabila seseorang di antara kamu melihat orang yang
dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia
melihat kepada orang-orang yang lebih rendah daripadanya.''
Ketiga, menganggap apa yang didapati dari nikmat Allah adalah hasil
usahanya. Perilaku ini menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai
pemberi nikmat tersebut. Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan
sendirinya. Melainkan, Allah yang telah mengatur semuanya. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur
untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.'' (QS. Luqman [31] : 12). Kini, mumpung
Allah masih memberikan waktu, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya? Wallahu
a'lam bis-shawab.
2. Sabar
Salah satu sifat yang dapat dijadikan parameter kualitas
keimanan seseorang adalah sabar. Semakin kuat keimanan seseorang kepada Allah
SWT, semakin kuat pula kesabaran yang dimilikinya, dan begitu sebaliknya.
Dengan begitu, iman dan sabar bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. ''Iman itu sabar,'' sabda Rasulullah SAW.
Sabar menurut bahasa adalah tahan menghadapi cobaan,
tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, tabah,
tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu. Sedangkan lawan dari sabar
adalah sedih dan keluh kesah. Dalam Alquran, sabar diartikan sebagai sikap
menahan diri atas sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah (QS.
Ar Ra’d [13] : 22).
Sabar tidak identik dengan ketidakberdayaan. Sabar juga
bukan merupakan kejumudan (statis), hanya berdiam diri dan tidak melakukan
apa-apa. Sabar adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengambil
tindakan sebelum tepat saatnya. Sabar lebih cenderung kepada usaha untuk
menjaga kejernihan pikiran dan kebersihan hati, sehingga tidak mengambil tindakan
secara tergesa-gesa.
Oleh sebab itulah Allah memerintahkan orang-orang beriman
agar bersikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan (QS. Al Baqarah
[2]: 155-157), sebagai ujian untuk menentukan kualitas keimanan seseorang (QS.
Muhammad [47]: 31 dan QS An Nahl [16] : 65). Allah SWT juga menyatakan bahwa
orang-orang yang besar imannya hanyalah orang yang sabar (QS. Al Baqarah [2] :
177), hamba yang sabar adalah pribadi yang tidak pernah mengeluh ketika cobaan
datang menghantamnya, karena ia meyakini bahwa di balik kesusahan dan cobaan
itu terdapat kemudahan (QS. Al Insyirah [94]: 5-6) atau hikmah kebaikan yang
tidak ia ketahui (QS. Al Baqarah [2] : 216).
Untuk itulah Rasulullah mengatakan, ''Sungguh aneh
persoalan seorang Mukmin! Sesungguhnya semua permasalahannya adalah baik
baginya, hal ini tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang Mukmin. Jika
mendapatkan kebaikan maka ia bersyukur dan kesyukurannya itu menjadi hak
baginya, dan jika ditimpa kesusahan maka ia bersabar dan kesabaran itu menjadi
baik baginya.'' (HR Muslim).
Adapun buah dari kesabaran yang dilakukan seseorang
adalah ridha, kedamaian, kebahagiaan, terciptanya 'izzah (keagungan),
kemuliaan, kebaikan, kemenangan, bantuan, dan kecintaan dari Allah. Dan, puncak
dari semua itu adalah buah yang akan didapat di akhirat, yaitu kenikmatan abadi
yang tidak terbatas (QS. Az Zumar [39] : 10).
Siapa pun kita hendaknya mampu mewujudkan dan
mengedepankan sikap sabar ini dalam setiap aspek kehidupan. Tak sepatutnya kita
hanya pandai berkeluh kesah dan berputus asa apabila menghadapi persoalan.
Karena, keluh kesah, tidak tenang, tidak tabah, cepat marah, dan cepat putus
asa adalah sifat yang tidak layak disandang oleh seorang Muslim. Wallahu
a'lam bis-shawab.
B.2 Husnudzan Kepada Diri Sendiri
Setiap orang yang berperilaku husnudzan kepada diri
sendiri akan berpeilaku positif terhadap dirinya sendiri. Di antara perilaku
positif tersebut adalah perilaku percaya diri dan perilaku gigih.
1. Percaya Diri
Percaya diri termasuk sikap dan perilaku terpuji yang
harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Seseorang yang percaya diri tentu akan
yakin terhadap kemampuan dirinya, sehingga ia berani mengeluarkan pendapat dan
melakukan suatu tindakan. Sikap optimis terhadap rahmat dan pertolongan Allah
akan membawa kepada sikap percaya diri. Tentunya percaya diri dalam menjalan
segala yang tidak dilarang oleh Allah SWT.
Imam Malik, dalam bukunya Al-Muwatha' meriwayatkan bahwa
Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah, sahabat Nabi yang memimpin pasukan Islam menghadapi
Romawi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, suatu ketika menyurati Umar,
menggambarkan kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi pasukan Romawi.
Umar menjawab, "Betapapun seorang Muslim ditimpa
kesulitan, Allah akan menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena sesungguhnya
satu kesulitan tidak akan mampu mengalahkan dua kelapangan.
Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa
berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan
kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah
berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.
Kelapangan yang dimaksud dalam jawaban Umar merupakan
bentuk penyikapan terhadap kesulitan, mengubah energi negatif menjadi energi
positif. Kelapangan akan mampu mengalahkan kesulitan tatkala dalam diri pemilik
kesulitan terpatri sikap optimisme.
Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan
pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati
untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.
Di samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme
merupakan pemicu agar kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada
kekosongan setelah satu bidang terpenuhi.
Rasulullah Saw mengajak umatnya agar terus-menerus
bekerja dan berusaha tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Sabda beliau,
"Demi Tuhan, sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali,
kemudian mengikat sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual,
sehingga Allah memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik
daripada ia meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak." (HR
Bukhari).
Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat
Islam. Membangun sikap optimisme, setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita
lakukan, Pertama, melakukan perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal
nyata. Sesungguhnya keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu
menghasilkan karya berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep
belum berwujud aksi.
Kedua, yakin akan ada kelapangan di hari kemudian.
Kelapangan yang diperoleh dari kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi
tiada henti dengan dibarengi keyakinan adanya bantuan Ilahi. "Sesungguhnya
kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia," demikian kata
Muhammad Abduh.
2. Gigih
Seorang yang berbaik sangka kepada Allah terhadap dirinya
sendiri tentu akan berperilaku gigih, karena ia yakin bahwa dengan berperilaku
gigih apa yang diinginkan akan tercapai. Dorongan agar kita gigih berusaha
adalah spirit yang terkandung dalam QS Ar Ra’d [13]: 11
“… Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaaan yang
ada pada diri mereka sendiri.…”
Sikap gigih yang sejati dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sesampainya Rasulullah saw dan kaum Muhajirin di Madinah, agenda yang
Beliau prioritaskan adalah memperat tali persaudaraan (ukhuwah) antara
Muhajirin dan Anshar. Ikatan kuat inilah yang mendasari kerukunan, kasih
sayang, serta berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dengan pengorbanan harta
benda, jiwa, dan raga. Hal ini mereka tumpahkan hanya untuk mengharapkan
keridlaan-Nya. Bahkan, kaum Anshar senantiasa mengutamakan kaum Muhajirin,
sekalipun mereka dalam keadaan susah.
Terdengarlah pada saat itu, Abdurahman bin 'Auf dari
Muhajirin dipersaudarakan dengan sahabat Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad bin Rabi'
adalah salah seorang konglomerat Madinah. Sa'ad mempersilakan kepada
Abdurrahman untuk mengambil apa saja yang ia inginkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Abdurrahman bin 'Auf selaku seorang sahabat yang zuhud,
wara', jujur, serta baik akhlaknya tidak serta-merta mengabulkan permohonan
saudaranya ini. Ia tidak mau menerima sesuatu tanpa didasari oleh usaha dan
kerja keras untuk mendapatkannya. Oleh karenanya, Abdurrahman meminta kepada
Sa'ad untuk mengantarkannnya ke pasar. Kepiawaian berdagang yang ia miliki
tidak disia-siakannya. Ia tidak hanya berpangku tangan untuk mendapatkan belas
kasih orang lain, selagi masih ada kemampuan untuk berusaha.
idak lama kemudian, karena sifatnya yang jujur, ulet,
serta kerja keras, akhirnya ia pun menjadi pedagang yang sukses, sehingga ia
menjadi seorang konglomerat yang dermawan, serta senantiasa menginfakkan
hartanya demi keberlangsungan dakwah.
Dari kisah tersebut, kita bisa memetik hikmah, di
tengah-tengah himpitan krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, bangsa Indonesia
sangat membutuhkan semangat Abdurahman bin 'Auf-Abdurahman bin 'Auf yang baru
guna menyegarkan dan menghidupkan bangsa ini, sehingga mampu mengembalikan
identitas bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Karena
selama ini, kita telah kehilangan jati diri sebagai bangsa besar, disebabkan
pemimpin-pemimpinnya yang selalu berharap untuk mendapatkan bantuan dari bangsa
lain. Hal ini mengakibatkan ketergantungan rakyatnya untuk senantiasa
mendapatkan sesuatu tanpa didasari usaha.
Bukankah bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya
alamnya? Ini adalah modal dasar yang telah kita miliki. Untuk itu, selanjutnya
tinggal bagaimana kita mampu mengolahnya. Insya Allah dengan kejujuran,
keuletan, dan kerja keras di antara kita, baik pejabat maupun rakyat, bangsa
ini akan kembali menjadi bangsa yang diperhitungkan di kancah dunia. Semoga!
Wallahu a'lam bis-shawab.
B.3 Husnudzan Kepada Sesama Manusia
Husnudzan atau berbaik sangka terhadap sesama manusia merupakan
sikap mental terpuji yang harus diwujudkan melalui sikap lahir, ucapan, dan
perbuatan yang baik dan diridhai Allah SWT dan bermanfaat.
Sikap, ucapan dan perbuatan baik, sebagai perwujudan husnudzan
itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga serta
bermasyarakat.
1. Kehidupan Berkeluarga
Tujuan hidup berkeluarga yang islami adalah terbentuknya
keluarga atay rumah tangga yang memperoleh ridha dan rahmat Allah SWT, bahagia
serta sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.
Agar tujuan luhur tersebut terwujud, maka suami sebagai
kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami,
hendaknya saling berperasangka baik, tidak boleh saling curiga, saling memenuhi
hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Demikian juga hubungan antara anak-anak dan orang tua
hendaknya dilandasi dengan perasangka dan saling pengertian. Anak-anak berbakti
pada orang tuanya dengan bersikap terpuji dan menyenangkan kedua orang tua. Orang
tua pun hendaknya memberi kepercayaan yang diperlukan anak un tuk mengembangkan
diri dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
1. Kehidupan Bertetangga
Tetangga adalah orang-orangnya yang tempat tinggalnya
berdekatan dengan tempat tinggal kita. Antara tetangga yang satu dengan
tetangga lainnya hendaknya saling berperasangka baik dan jangan saling
mencurigai.
Kehidupan bertetangga dianggap saling berperasangka baik
dan tidak saling mencurigai apabila antara lain bersikap dan berperilaku
berikut ini:
- saling menghormati
Antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya
hendaknya saling menghormati dan menghargai, baik melalui sikap dan ucapan
lisan atau melalui perbuatan sikap. Ucapan lisan dan perbuatan menghormati
serta menghargai tetangga termasuk akhlaq mulia, serta termasuk tanda-tanda
beriman. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ (رَوَاهُ الْمُسْلِم)
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka hendaknya ia memuliakan tetangganya.” (HR. Muslim)
- berbuat baik kepada tetangga
Perintah berbuat baik
kepada tetangga tercantum dalam QS. An Nisa [4] : 36
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabi dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.”
Berbuat baik kepada tetangga adalah dengan cara melakukan
kewajiban terhadap tetangga dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang
bermanfaat itu.
Bersikap, bertutur kata, dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyakiti dan merugikan tetangga termasuk perbuatan
yang diharamkan Allah SWT. Pelaku tidak akan masuk surga. Rasulullah saw
bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ
يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ (رَوَاهُ
الْمُسْلِم)
“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)
- Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara
Tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah
terwujudnya kehidupan yang aman, tentram, adil dan makmur, di bawah ampunan
dari ridha Allah SWT.
Agar tujuan luhur tersebut terwujud salah satu usaha yang
harus ditempuh adalah sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara saling
berperasangka baik yang diikuti dengan berbagai sikap dan perilaku terpuji yang
bermanfaat. Sesama mereka juga tidak boleh saling berprasangka buruk yang
iikuti dengan berbagai sikap dan perilaku tercela yang merugikan serta
mendatangkan bencana.
Sikap dan perilaku terpuji yang harus diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara itu, antara lain:
1. Generasi tua menyayangi generasi muda, antara lain dengan membimbing mereka
agar kualitas kehidupannya dalam berbagai bidang positif lebih maju daripada
generasi tua. Sedangkan generasi muda hendaknya menghormati generasi tua dengan
sikap, ucapan, dan perbuatan yang baik dan bermanfaat, seperti melaksanakan
segala nasihat mereka yang baik dan berguna.
Rasulullah saw bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَ لَمْ
يَوَقِّرْ كَبِيْرَنَا (رَوَاهُ اَحْمَد)
“Bukan dari golongan kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang
muda dan tidak menghormati yang tua.” (HR. Ahmad)
2. Sesama anggota
masyarakat atau sesama warga negara hendaknya saling menolong dalam kebaikan,
serta ketaqwaan dan jangan saling menolong dalam dosa serta pelanggaran.
Tolong
menolong dalam kebajikan sesama anggota masyarakat atau sesama warga negara itu
antara lain:
a. Pemerintah dan rakyat dari kelompok kaya berusaha bekerja sama untuk
menghilangkan kemiskinan. Kelompok kaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk
menyantuni kaum dhuafa’ melalui zakat, infaq dan sedekah.
b. Pemerintah dan masyarakat hendaknya bekerja sama dalam memberantas
kejahatan dan kemungkaran yang muncul di masyarakat dengan cara yang bijaksana,
sesuai dengan hukum yang berlaku.
C. Membiasakan perilaku husnuzhan dalam
kehidupan sehari-hari.
Setiap muslim atau muslimah hendaknya membiasakan diri
berperilaku husnuzhan baik terhadap Allah SWT, diri sendiri maupun terhadap
sesama manusia. Hidup adalah pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah sumber
kebaikan yang tersembunyi".
Diri kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa
mencari. Mencari adalah mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari adalah
kemaslahatan; kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang positif.
Sebaliknya adalah kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam itu berarti netral
dan tenggelam, berarti awal dari segala kemafsadahan.
Tidak ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran.
Semangat juga berarti ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran.
Makanya tindakan orang gila itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan
orang waras adakalanya baik, adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan
akalnya, dan buruk karena melampiaskan hawa nafsunya.
Yang pertama: akal fikiran ==> ketulusan ==> ide dan pemikiran ==> semangat ==> gerak menuju ke kebaikan dan
kemaslahatan.
Kebalikan dari itu: hawa nafsu ==> kedengkian ==> kepongahan
==> gerak menuju kemafsadahan.
Orang diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam,
gara-gara menganggurkan akalnya. Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain
dengan orang istirahat, karena istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah
bagian dari gerak). Patah semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah
minus dan merupakan awal dari segala kemafsadahan.
Orang yg semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat
dan gerak adalah bukti dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah
selalu mengaitkan "pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum
ajruhum 'inda rabbihim) dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa
laa khaufun 'alaihim) dan kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa
hum yahzanuun) dalam ayat al-Baqarah : 277.
Sebaliknya, putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan
kesedihan mempunyai kaitan erat dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan
ketentraman berjalinan dengan kecerdasan dan intelektualitas.
Itu semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun
hasil, besar kecilnya, itu tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. (wall-ladziina
jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulana) "Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya" .
(al-Ankabut: 69)
Prinsip seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian
adalah totalitas ide dan pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu tidak
identik dengan ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh. Karena kecuekan,
acuh tak acuh, dan sebangsanya itu sebanding dengan kebodohan, hampir setengah
dari kesombongan. Kedirian adalah penyerapan dan filterisasi informasi sehingga
menyusun sebuah keutuhan ide dan pemikiran. Walaupun ada beberapa
tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar dari diri sendiri, karena telah difilter
dengan akal sehat tentunya.
Pemikiran dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah
kebenaran). Di sinilah relevansinya firman Allah SWT "fa idzaa 'azamta
fatawakkal 'alaa Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada
Allah) (Ali Imran: 159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan,
keberanian, dan ketegasan.
Ringkasnya, gerak-kemantapan-kebahagian itu harus saling
terkait. Kalau sudah bisa mengkaitkan ketiganya, baru boleh bertawakkal. Semoga
bermanfaat,
B. PELATIHAN
1. Pilihan ganda
1. Segala macam perilaku perbuatan baik yang tampak pada lingkungan sehari –
hari disebut ….
a. Ibadah d. Ahklakul madzmudah
b. Ahklakul karimah e. Adat istiadat
c. Shodaqoh jariyah
2. Sikap mental
berprasangka baik kepada orang lain disebut ………
a. Su’udhon d. Husnuzhan
b. Sifat terpuji e. Ahsani Taqwim
c. Husnun miyat
3. Di bawah ini
adalah hikmah Husnuzhan, kecuali ………..
a. Hidup menjadi tenang, tentram dan damai.
b. Bisa menimbulkan rasa pesimis
c. Hati manjadi bersih
d. Senantiasa bersyukur kepada Allah SWT
e. Jauh dari perselisihan atau perpecahan
4. Jika manusia belum beruntung dalam memperoleh karunia Allah hal itu bukan
berarti Allah benci kepadanya akan tetapi kemampuannya belum maksimal. Oleh
karena itu hendaknya kita senantiasa …………
a. Menyerah kepada nasib
b. Su’uzhan kepada Allah
c. Sabar dan Tawakkal serta berdo’a
d. Husnuzhan kepada Allah
e. Tidak melanjutkan usahanya karena takut gagal
5. Di bawah ini
beberapa contoh sikap gigih dan optimis, kecuali ……
a. Lebih meningkatkan ihtiyarnya untuk meraih kesuksesan
b. Tidak mudah putus asa
c. Berusaha terus dan tidak berpikir tentang hasilnya
d. Percaya diri dan makin besar harapan
e. Selalu yakin keberuntungan akan diperolehnya
6. Pernyataan atau
sikap dibawah ini yang mengandung dosa adalah ..
a. Siapa tahu keberuntungan saya ada disini
b. Ah ! capek tidak ada gunanya
c. Jangan – jangan saya bersalah lagi
d. Tidak masalah, saya akan coba lagi
e. Saya akan berusaha terus
7. Diantara akhlak
yang terpuji ialah berinisiatif yang contohya antara lain dibawah ini, kecuali
…………..
a. Menghindarkan diridari sikap ikut – ikutan
b. Memprakarsai suatu kegiatan yang positif
c. Berbuat sesuatu setelah diarahkan pimpinan
d. Menggunakan nalar dan bertindakdengan kesadaran sendiri
e. Cepat bertindak dalam situasi sulit
8. Untuk
menumbuhkan sikap inisiatif dan dapat mandiri ditempuh cara berikut di bawah
ini, kecuali ……………
a. Bekerja menurut keadaan, bakat, dan tabiat
b. Bekerja tepat waktu
c. Senantiasa menggunakan akal
d. Berusaha menjadi penggerak dan kreatif
e. Bekerja dengan seadanya saja
9. Karunia Allah
yang dapat mendatangkan manfaat disebut ………
a. Hasud d. Riba’
b. Rahmat e. Riya’
c. Hikayat
10. Kita harus
senantiasa bersikap gigih dan optimis, hal itu dijelaskan dalam Al-Qur’an surat
………..
a. Al Jum’ah :10 d. Yusuf :87
b. Al Insyiroh :7 e. Al Maidah :59
c. Al Ra’du :11
11. Kerusakan alam dan ekosistem di darat dan di laut adalah akibat …
a. Perubahan cuaca d. Ketidak seimbangan alam
b. Ulah manusia e. Binatang liar
c. Bencana alam
12. Jika kita berprasangka baik kepada Allah, maka …
a. kita menjadi beruntung d. Allah mengetahui sikap kita
b. kita jadi hidup susak e. kita dicintai sesama
c. kita dicintai allah
13. Kita akan memperoleh apa yang kita harapkan sesuai dengan …
a. cita-cita kita
b. doa-doa kita
c. yang menjadi niat kita
d. usaha-usaha yang kita lakukan
e. perhatian-perhatian kita
14. Jika seseorang melakukan tindakan yang belum pernah dilakukan orang
lain, berarti ia orang yang …
a. gigih d. penuh inisiatif
b. optimis e. rela berkorban
c. nekat
15. Wujud sikap rela berkorban dalam Islam adalah …
a. Mendahulukan kepentingan bersama
b. Menghargai orang lain berpendapat
c. Hidup untuk ibadah
d. Senang melaksanakan acara-acara keagamaan bersama
e. Sama sekali tidak mempunyai keinginan
2.
Uraian
1. Berikan contoh Ahklakul karimah terhadap diri sendiri !
2. Bagaimana wujud berahklakul karimah kepada lingkungan ?
3. Bagaimana pengertian sikap gigih dan optimis menurut Al Qur'an?
4. Tuliskan ayatnya lengkap dengan terjemahannya !
5. Sebutkan 5 manfaat Husnuzhan !
6. Jelaskan cara bersikap terpuji terhadap hewan dan tumbuhan !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar